KESULTANAN CIREBON
(1445-1677)
Kesultanan Cirebon
adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16
Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran
antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan
antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan
"jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu
kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan
Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Menurut
Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh
kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi
sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena
di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama,
bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat
tinggal atau berdagang.
Mengingat pada
awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka
berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang
pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas
pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan
cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan
pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian
menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir
utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara
maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal
bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
PERKEMBANGAN AWAL
Ki Gedeng Tapa (atau
juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya
di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun
sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun
Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para
pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.
Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa
Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng
Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden
Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau
Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki
Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi
diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran
Cakrabuana.
MASA KESULTANAN
CIREBON (PAKUNGWATI)
Pangeran Cakrabuana
(…. –1479)
Pangeran Cakrabuana
adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi
dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama
kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian
Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/
Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung
dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan
Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan
oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama
mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu
dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki
Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki
Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak
meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan
membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai
pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian
disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang
memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada
penduduk Cirebon.
Sunan Gunung Jati
(1479-1568)
Pada tahun 1479 M,
kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil
perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah
(1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan
gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif
Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati
Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini
sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten
serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali
(Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.
Fatahillah
(1568-1570)
Kekosongan pemegang
kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama
Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh
Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah
Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta
kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada
tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan
berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung
Sembung.
Panembahan Ratu I
(1570-1649)
Sepeninggal
Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta
kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua
Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian
bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
Panembahan Ratu II
(1649-1677)
Setelah Panembahan
Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon
dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim,
karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan
Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama
gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal
pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya
pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu
Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon
dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan
Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh
mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari
Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan
meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran
Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya
adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di
Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri,
Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi
makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
TERPECAHNYA
KESULTANAN CIREBON
Dengan kematian
Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta
yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak berada
di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk
meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas
dalam Perang Pagarage), beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat
peluang untuk memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan
Pemberontak Trunojoyo yang disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran
tersebut berhasil diselamatkan. Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat
ada keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia
mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran
Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan
Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun
lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk
mencegah agar Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.
Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama
terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga
orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan
Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton
Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan
menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan
Cirebon berikutnya adalah:
Sultan Keraton
Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi
Muhammad Samsudin (1677-1703)
Sultan Kanoman,
Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin
(1677-1723)
Pangeran Wangsakerta,
sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin
atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari
Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan
oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di
ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,
rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi
sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau
keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat
belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi
kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana
seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari
permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka
orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan
selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan
Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya,
yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri
dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran
Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit
(Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang
mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807
dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar
sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah
satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan
Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang
lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
MASA KOLONIAL DAN
KEMERDEKAAN
Sesudah kejadian
tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam
mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton
Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada
tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon
secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon),
yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb.
1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali
diperluas menjadi 2.450 hektar.
Pada masa
kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan
Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara
administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu
walikota dan bupati.
PERKEMBANGAN TERAKHIR
Setelah masa
kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari
pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton
yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat
khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta
dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali
ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton
Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena
merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman
sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah
Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.
Pada awal bulan Maret
2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja
Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta
Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan
perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.
No comments:
Post a Comment